Info-Sultra.com | Konawe – Musim panen tahun ini membawa ironi bagi petani di Kabupaten Konawe. Di tengah melimpahnya hasil panen, harga gabah justru merosot tajam hingga di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Di Kecamatan Padangguni, misalnya, gabah kering panen dijual hanya sekitar Rp 5.700 per kilogram, padahal HPP ditetapkan sebesar Rp 6.500.
Kondisi ini memicu keresahan. Dugaan pun muncul, sebagian mitra Bulog ikut membeli gabah di bawah harga wajar. “Petani Konawe tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin harga yang layak untuk jerih payah mereka,” ujar H. Fajar Meronda dalam opininya.
Secara aturan, HPP dibuat untuk melindungi harga di tingkat petani. Namun, di lapangan, pelaksanaannya sering menyimpang. Mitra Bulog kerap beralasan kadar air tinggi atau mutu rendah untuk menekan harga. Padahal, sebagian besar petani Konawe belum memiliki fasilitas pengering dan gudang memadai.
“Petani terjebak dalam pilihan sulit: menjual murah atau menanggung risiko gabah rusak,” tulis Fajar.
Fajar menilai Pemerintah Kabupaten Konawe perlu bergerak cepat. Ia menyarankan lima langkah konkret:
1. Tindak tegas pembelian gabah di bawah HPP.
2. Aktifkan BUMD pangan atau koperasi daerah sebagai penyangga harga.
3. Bangun fasilitas pascapanen modern.
4. Buka data serapan Bulog secara transparan.
5. Perkuat koordinasi lintas sektor antara Pemda, DPRD, Bulog, dan kelompok tani.
“Langkah ini bukan teknis semata, tapi bukti keberpihakan,” tegasnya.
Selain peran pemerintah, Fajar mendorong penguatan kelembagaan petani melalui Gapoktan dan koperasi. Petani juga perlu mulai mengolah gabah menjadi produk bernilai tambah seperti beras kemasan lokal.
“Ketika petani bersatu, mereka tak lagi jadi objek, tapi subjek ekonomi daerah,” ujarnya.
Bang Fajar menilai anjloknya harga gabah harus menjadi momentum pembenahan tata niaga pangan, bukan sekadar keluhan musiman.
“Jika petani merasa dilindungi, mereka akan meningkatkan produktivitas. Tapi jika terus dibiarkan, yang runtuh bukan hanya kesejahteraan mereka, melainkan ketahanan pangan Konawe,” tandasnya.
Ia menutup opininya dengan pesan kuat:
“Petani bukan sekadar penghasil beras, mereka penjamin masa depan. Kesejahteraan mereka lahir dari sistem yang berpihak dan pengawasan yang tegas.”
Konawe, katanya, bisa menjadi contoh daerah yang adil bagi petani, asalkan semua pihak mau berjalan dalam satu visi: menjaga harga, menyelamatkan harapan.
Laporan: Redaksi
