INFO-SULTRA.COM, KENDARI – Ponggawa Aha Banderano Tolaki, Hedianto Ismail, menyampaikan protes keras atas penanganan kasus dugaan pengeroyokan yang menyeret anggotanya, Nabil. Ia menilai tindakan aparat Polres Kendari dan Polda Sultra sarat kejanggalan, tidak profesional, dan mengarah pada kriminalisasi.
Kasus bermula ketika Ading, yang sebelumnya mencekik dan membanting mantan kekasihnya hingga pingsan, dibawa oleh pihak yang mengaku keluarga korban ke tempat kerja Nabil dan mengklaim mendapat pengeroyokan di sana. Namun pada waktu yang disebut sebagai waktu kejadian, Nabil justru tidak dalam shift kerja dan sedang tidur. Meski demikian, aparat datang bersama Ading dan langsung menunjuk Nabil sebagai pelaku tanpa identifikasi awal maupun verifikasi fakta.
Masalah semakin berat ketika terungkap bahwa Nabil dibatasi hak bebas bergeraknya lebih dari 1×24 jam tanpa status hukum yang jelas dan tanpa surat perintah, sehingga dapat dikategorikan sebagai penangkapan atau penahanan tidak sah yang bertentangan dengan Pasal 19 dan 21 KUHAP. Selama pemeriksaan ia juga mengaku mendapat tekanan dan dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya—pelanggaran terhadap Pasal 117 KUHAP dan asas praduga tak bersalah.
Pemulangan Nabil tidak menghapus fakta bahwa ia telah diperlakukan seolah bersalah sejak awal, dibatasi kebebasannya secara melawan hukum, dan ditekan dalam proses pemeriksaan. Pelanggaran tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan.
Banderano Tolaki akan menggelar aksi damai dan melaporkan dugaan kriminalisasi, penyalahgunaan kewenangan, dan ketidakprofesionalan aparat. “Kami mengecam kekerasan terhadap perempuan, tapi penegakan hukum harus berdasarkan prosedur yang benar, bukan tekanan publik,” tegas Hedianto.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah aparat bekerja berdasarkan fakta dan hukum, atau tunduk pada tekanan sosial? Publik kini menunggu transparansi dan koreksi dari lembaga penegak hukum.
Laporan: Redaksi
