Konut,Info-Sultra.com-Sebelumnya, Direktur Eksekutif Explor Anoa Oheo ( EXOH Indonesia ) Ashari, yang juga pemerhati lingkungan terhadap masyarakat adat Bajo di kepulauan Labengki. Kala itu di tahun 2017 silam menyoroti salah satu pengemban wisata yang memperoleh izin disana, alhasil semua berjalan baik mulai dari aspek ketaatan perizinan, lingkungan, pemberdayaan, kearifan lokal, sampai hingga kini nama Wisata Labengki terkenal dan mendunia, Minggu 27-Agustus-2023.
Berbagai tantangan yang di hadapi rakyat kita terkhusus masyarakat pesisir adalah kenyataan global yang tidak henti-hentinya terjadi. Tidak hanya sektor pertambangan, pada sektor pengembangan pariwisata pun, masyarakat setempat merasa tidak nyaman, terintimidasi dengan ancaman kehilangan pekerjaan dimana lahan dan kedudukan nya di rampas paksa, di bujuk, di tekan untuk meninggalkan tempat yang dimana objek itu di miliki secara turun temurun
Ashari mengatakan, latar belakang keberadaan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) teluk Lasolo seluas 72.660 HA merupakan Rahmat illahi yang memancarkan pesona alam. Keasriannya mesti di pertahankan dan akan baik ketika menjadi suatu objek wisata sejalan dengan kearifan lokal yang ada
Sebelum di tetapkan teluk Lasolo sebagai kawasan TWAL, dahulu diketahui areal itu sebagai kawasan perekonomian masyarakat Bajo layaknya sebagai benteng pertahanan keberlangsungan hidup.
Ashari, menantang jika ada oknum atau segelintir pihak yang mengklaim jika lahan tersebut bukan milik masyarakat. Bahkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) pun tidak memiliki hak sifatnya ” Memaksa ” untuk mengklaim sekalipun itu kewenangan-nya.
Peraturan Menteri Kehutanan nomor 22 tahun 2012 tentang pedoman kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam laut pada hutan lindung. Rujukan ini mestinya menjadi pegangan guna menciptakan kolaborasi dan sinergitas antara pengusaha dan masyarakat adat setempat
Upaya percobaan perampasan hak perkebunan kelapa di Areal Pulo Mapara labengki besar milik Haji Ance ( 77 tahun ) kurang lebih sama riwayat kronologi dengan seorang kakek tua bernama Haji Summung pada tahun 2017 silam. Tempat penangkapan ikan ( Sero ) miliknya di Pulo Mauwang harus mengalah meninggalkannya karena dengan rasa tekanan
Olehnya itu kejadian seperti ini tidak boleh lagi terjadi. Investor pengembang wisata mesti menjadi terdepan menjaga kearifan lokal bukan praktek intimidasi. BKSDA provinsi Sulawesi Tenggara dapat menengahi. Diplomasi yang terukur, negosiasi tanpa ada tekanan, sampai lahir solusi yang benar-benar mufakat. Keluarga Haji Ance tidak sendiri, kami pun pastikan hadir mendampingi mereka. Ashari dengan nada yang tegas
Secara hukum adat adalah hak lahan masyarakat setempat sehingga lahan sero di Laut atau lahan kebun di Darat ( Pesisir pantai ) merupakan bukti fisik masyarakat secara turun temurun. Masyarakat memiliki hak yang sah tidak bisa diambil alih begitu saja oleh Oknum bertameng investor termasuk oknum pemerintah sebagai pemrakarsa
Pemerintah mesti adil dan tegas karena disitu ada masyarakat yang butuh perlindungn sosial.
” Jika usaha Wisata tak memenuhi ketentuan, maka mendatangkan tamu juga menjadi ilegal” . Tutup Ashari.
Laporan:(Red)